Friday, 5 April 2013

PENANGANAN AWAL DAN PENANGANAN LANJUTAN KASUS KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Definisi Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berrbahaya (Dorlan,  2011).
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan  manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia 28 hari) membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat tim medis yang menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas kesehatan yang terlatih untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan.


2.      Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan
2.1.Prinsip Dasar
Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama (diagnosa) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang tidak panik, walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun prosedur pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi dan hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan.

2.1.1.      Menghormati hak pasien
Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa memandang status sosial dan ekonominya. Dalam hal ini petugas harus memahami dan peka bahwa dalam situasi dan kondisi gawatdarurat perasaan cemas, ketakutan, dan keprihatinan adalah wajar bagi setiap manusia dan kelurga yang mengalaminya.

2.1.2.      Gentleness
Dalam melakukan pemeriksaan ataupun memberikan pengobatan setiap langkah harus dilakukan dengan penuh kelembutan, termasuk menjelaskan kepada pasien bahwa rasa sakit atau kurang enak tidak dapat dihindari sewaktu melakukan pemeriksaan atau memerikan pengobatan, tetapo prosedur akan dilakukan selembut mungkin sehingga perasaan kurang enak itu diupayakan sesedikit mungkin.

2.1.3.      Komunikatif
Petugas kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa dan kalimat yang tepat, mudah dipahami, dan memperhatikan nilai norma kultur setempat. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus menjelaskan kepada pasien apa yang akan diperikssssa dan apa yang diharapkan. Apabila hasil pemeriksaan normal atau kondisi pasien sudah stabil,upaya untuk memastikan hal itu harus dilakukan. Menjelaskan kondisi yang sebenarnya kepada pasien sangatlah penting.

2.1.4.      Hak Pasien
Hak-hak pasien harus dihormati seperti penjelasan informed consent,  hak pasien untuk menolak pengobatan yang akan diberikan dan kerahasiaan status medik pasien.

2.1.5.      Dukungan Keluarga (Family Support)
Dukungan keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, petugas kesehatan harus mengupayakan hal itu antara lain dengan senantiasa memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang kondisi pasien, peka akan masalah kelurga yang berkaitan dengan keterbatasan keuangan, keterbatasan transportasi, dan sebagainya.
Dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat dinomorduakan, misalnya apa bila pasien dalam keadaan syok, dan petugas kesehatan kebetulan hanya sendirian, maka tidak mungkin untuk meminta informed consent kepada keluarga pasien. Prosedur untuk menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan walaupun keluarga pasien belum diberi informasi.

2.2.Penilaian Awal
Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam keadaa gawatdarurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan secara sistematis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan obstetrik. Dalam praktik, oleh karena pemeriksaan sistematis membutuhkan waktu yang agak lama, padahal penilaian harus dilakukan secara cepat, maka dilakukan penilaian awal.
Penilaian awal adalah langkah untuk menentukan dengan cepat kasus obstetri yang dicurigai dalam keadaan kegawatdarurat dan membutuhkan pertolongan segera dengan mengidentifikasi penyulit yang dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis lengkap belum dilakukan. Anamnesa awal dilakukan bersama-sama periksa pandang, periksa raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan informasi yang sangat penting berkaitan dengan kasus. Misalnya apakah kasus mengalami perdarahan, demam, tidak sadar, kejang, sudah mengedan, atau bersalin berapa lama, dan sebagainya. Fokus utama penilaian adalah apakah pasieng mengalami syok hipofolemik, syok septik, syok jenis lain (syok kardiogenik, syok neurologik, dan sebagainya), koma, kejang-kejang, atau koma disertai kejang-kejang, dan hal itu terjadi dalam kehamilan, persalinan,  atau pasca persalinan.


2.3.Prinsip Umum Penanganan Kasus Kegawatdaruratan
2.3..1 Pastikan Jalan Napas Bebas
Harus diyakini bahwa jalan napas tidak tersumbat. Jangan memberikan cairan atau makanan ke dalam mulut karena pasien sewaktu-waktu dapat muntah dan cairan muntahan dapat terisap masuk ke dalam paru-paru. Putarlah kepala pasien dan kalau perlu putar juga badannya ke samping dengan demikian bila ia muntah, tidak sampai terjadi aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya tetap hangat karena kondisi hipotermia berbahaya dan dapat memperberat syok. Naikkanlah kaki pasien untuk membantu aliran darah balik ke jantung. Jika posisi berbaring menyebabkan pasien merasa sesak napas, kemungkinan hla ini dikarenakan gagal jantung dan edema paru-paru. Pada kasus demikian, tungkai diturunkan dan naikkanlah posisi kepala untuk mengurangi cairan dalam paru-paru.

2.3.2.      Pemberian Oksigen
Oksigen diberikan dengan kecepatan 6-8 liter / menit. Intubasi maupun ventilasi tekanan positif hanya dilakukan kalau ada indikasi yang jelas.

2.3.3.      Pemberian Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan pada tahap awal untuk persiapan mengantisipasi kalau kemudian penambahan cairan dibutuhkan. Pemberian cairan infus intravena selanjutnya  baik jenis cairan, banyaknya cairan yang diberikan, dan kecepatan pemberian cairan harus sesuai dengan diagnosis kasus. Misalnya pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh  yang hilang pada syok hipovolemik seperti pada perdarahan berbeda dengan pemberian cairan pada syok septik. Pada umumnya dipilih cairan isotonik, misalnya NaCl 0.9 % atau Ringer Laktat. Jarum infus yang digunakan sebaiknya nomor 16-18 agar cairan dapat dimasukkan secara cepat.
Pengukuran banyaknya cairan infus yang diberikan sangatlah penting. Berhati-hatilah agar tidak berlebihan memberikan cairan intravena terlebih lagi pada syok septik. Setiap tanda pembengkakan, napas pendek, dan pipi bengkak, kemungkinan adalah tanda kelebihan pemberian cairan. Apabila hal ini terjadi, pemberian cairan dihentikan. Diuretika mungkin harus diberikan bila terjadi edema paru-paru.

2.3.4.      Pemberian Tranfusi Darah
Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai syok, transfusi darah sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa penderita. Walaupun demikian, transfusi darah bukan tanpa risiko dan bahkan dapat berakibat kompliksai yang berbahaya dan fatal. Oleh karena itu, keputusan untuk memberikan transfusi darah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Risiko yang serius berkaitan dengan transfusi darah mencakup penyebaran mikroorganisme infeksius ( misalnya human immunodeficiency virus atau HIV dan virus hepatitis), masalah yang berkaitan dengan imunologik ( misalnya hemolisis intravaskular), dan kelebihan cairan dalam transfusi darah.

2.3.5.      Pasang Kateter Kandung Kemih
Kateter kandung kemih dipasang untuk mengukur banyaknya urin yang keluar guna menulai fungsi ginjal dan keseimbangan pemasukan danpengeluaran cairan tubuh. Lebih baik dipakai kateter foley. Jika kateterisasi tidak mungkin dilakukan, urin ditampung dan dicatat kemungkinan terdapat peningkatan konsesntrasi urin ( urin berwarna gelap) atau produksi urin berkurang sampai tidak ada urin sama sekali. Jika produksi urin mula-mula rendah kemudian semakin bertambah, hal ini menunjukan bahwa kondisi pasien membaik. Diharapkan produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 mL/ jam.

2.3.6.      Pemberian Antibiotika
Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada kasus sepsi, syok septik, cidera intraabdominal, dan perforasi uterus.
Pada kasus syok, pemberian antibiotika intravena lebih diutamakan sebab lebih cepat menyebarkan obat ke jaringan yang terkena infeksi. Apabila pemberian intravena tidak memungkinkan, obat dapat diberikan intramuskular. Pemberian antibiotika per oral diberikan jika pemberian intra vena dan intramuskular tidak memungkinkan, yaitu jika pasien dalam keadaan syok, pada infeksi ringan, atau untuk mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi diantisipasi dapat terjadi sebagai komplikasi.
Profilaksis antibiotika adalah pemberian antibiotika untuk pencegahan infeksi pada kasus tanpa tanda-tanda dan gejala infeksi. Antibiotika diberikan dalam dosis tugngal, paling banyak ialah 3 kali dosis. Sebaiknya profilaksis antibiotika diberikan setelah tali pusat diklem untuk menghindari efeknya pada bayi. Profilaksis antibiotika yang diberikan dalam dosis terapeutik selain menyalahi prinsip juga tidak perlu dan  suatu pemborosan bagi si penderita. Risiko penggunaan antibiotika berlebihan ialah retensi kuma, efek samping, toksisitas, reaksi alergi, dan  biaya yang tidak perlu dikeluarkan.

2.3.7.      Obat Pengurang Rasa Nyeri
Pada beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri, penderita dapat mengalami rasa nyeri yang membutuhkan pengobatan segera. Pemberian obat pengurang rasa nyeri jangan sampai menyembunyikan gejala yang sangat penting untuk menentukan diagnosis. Hindarilah pemberian antibiotika pada kasus yang dirujuk tanpa didampingi petugas kesehatan, terlebih lagi petugas tanpa kemampuan untuk mengatasi depresi pernapasan.

2.3.8.      Penanganan Masalah Utama
Penyebab utama kasus kegawatdaruratan kasus harus ditentukan diagnosisnya dan ditangani sampai tuntas secepatnya setelah kondisi pasien memungkinkan untuk segera ditindak. Kalau tidak, kondisi kegawatdaruratan dapat timbul lagi dan bahkan mungkin dalam kondisi yang lebih buruk.

2.3.9.      Rujukan        
Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai untuk menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap. Sebaiknya sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima rujukan dihubungi dan diberitahu terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan ataupun perawatan inap telah dilakukan dan diyakini rujukan kasusa tidak akan ditolak.


3.            Kunci Keberhasilan Penanganan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal meliputi intervensi yang spesifik untuk menangani kasus “kegawatan” atau komplikasi selama kehamilan, persalinan, dan nifas, serta kegawatan pada bayi baru lahir di bawah 30 hari. Intervensi yang dilakukan antara lain pmeberian antibiotik intravena, penanganan komplikasi aborsi, penanganan perdarahan postpartum, pengananan asfiksia neonatorum, penanganan ikterus neonatorum, dan lain sebagainya.
Kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal bukanlah merupakan tanggung jawab petugas kesehatan untuk mengananinya. Namun, dibutuhkan peran serta berbagai pihak dalam mewujudkan kondisi yang mendukung demi tercapainya keselamatan ibu dan bayi yang mengalami kegawatan melalui sistem pertolongan yang sinergi, bekerja efektif, efisien, dan kontinu.
Pemberi bantuan dana, pembuat kebijakan, dan petugas kesehatan harus menyadari bahwa tujuan utama pengananan kegawatdaruratan maternal dan neonatal adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya, juga untuk menyelamatkan jiwa bayi yang baru lahir atau dengan kata lain untuk mengurangi angka kematian ibu dan angka kematian neonatal.
Penyediaan pelanyanan penanganan kegawatdaruratan yang berkualitas bukanlah penyelesaian masalah. Bukan pula dengan tersedianya rumah sakit yang menyediakan layanan pembedahan di kamar operasi, tetapi ada beberapa poin yang menentukan berhasilnya pertolongan kasus kegawatdaruratan di antaranya yaitu.

a.       Pendidikan dan mobilisasi komunitas
Tujuannya agar masyarakat mengetahui kapan harus mencari pertolongan dan kapan menghubungi petugas kesehatan jika tampak tanda bahaya atau kegawatan
b.      Pinjaman dana komunitas
Kurangnya biaya  merupakan masalah atau hambatan daam mendapatkan pertolongan ataupun penanganan di fasilitas kesehatan. Mendirikan sebuah pinjaman dana komunitas memberikan dampak yang baik di mana masyarakat termotivasi dalam mendonorkan dana demi tercapainya penggunaan fasilitas yang dibutukan oleh ibu ataupun bayi yang mengalami kegawatan.
c.       Trained and skilled staff ( petugas kesehatan yang terlatih dan terampil)
d.      Alat transportasi
Ketersediaan alat transportasi merupakan elemen yang krusial dari kuatnya sistem rujukan. Alat transportasi tidak mesti harus ambulans. Sarana transportasiumum seperti taxi ataupun mobil pribadi dapat digunakan dalam situasi gawatdarurat.
e.       Maternity Waiting Homes ( Rumah Singgah Ibu)
Maternity waiting homes dirancang umumnya untuk mengurangi komplikasi intra partum dan postpartum. Penggunaan MWH ini telah lama direkomendasikan oleh WHO sebagai strategi untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian ibu.
f.       Ketersediaan obat, bahan, alat, dan perlengkapan, kamar operasi, dan lain sebagainya di fasilitas kesehatan.
g.      Lingkungan kerja yang kondusif serta kerjasama antara petugas yang baik
h.      Meningakatkan kualitas sistem penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal pada setiap fasilitas kesehatan/ pusat pelayanan kesehatan
i.        Komunikasi dan hubungan antara penolong kasus kegawatan pada level komunitas dengan petugas di fasilitas yang lebih baik (tempat rujukan)

4.            Penanganan Awal dan Penanganan Lanjutan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal ( Penanganan Plasenta Previa dan Penanganan Asfiksia Neonatorum)
Terdapat banyak kasus kegawatdaruratan atau komplikasi yang dapat dialami oleh ibu selama masa kehamilan, persalinan, maupun postpartum dan juga pada 0 – 30 hari pada bayi baru lahir di antaranya  (a) perdarahan obstetri, (b) eklampsia, (c) emboli paru, (d) emboli air ketuban, (e) prolapsus talipusat,(f) retensio plasenta, (g) distosia bahu, (h) inversio uteri, (i) ruptura uteri, (j) asfiksia neonatorum,(k) ikterus neonatorum, (l) hipotermi dan hipertermi pada bayi baru lahir, (m) kejang pada bayi baru lahir, dan lain sebagainya. Berikut akan dijelaskan menganai satu dari sekian kasus kegawatan maternal dan satu kasus kegawatan neonatal.

4.1. Plasenta Previa
4.1.1. Pengertian dan Klasifikasi Plasenta Previa
klasifikasi plasenta previa
Plasenta previa adalah keadaaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (Ostium Uteri Internal) (Rustam mochtar, 1998).
Plasenta previa ialah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal plasenta terletak di bagian atas uterus (Hanifa Winkjosastro, 2005)
Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu :
1.      Plasenta previa totalis : bila seluruh pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.
2.      Plasenta previa lateralis : bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.
3.      Plasenta previa marginalis : bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan jalan lahir.
4.      Plasenta letak rendah
Tepi plasenta berada 3-4 cm diatas pinggir pembukaan pada pemeriksaan dalam tidak teraba (Hanifa Winkjosastro, 2005).

4.1.2.      Ciri – Ciri Plasenta Previa
Ciri- ciri plasenta previa yaitu :
1.      Perdarahan tanpa nyeri
2.      Perdarahan berulang
3.      Warna perdarahan merah segar
4.      Adanya anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah
5.      Timbulnya perlahan-lahan
6.      Waktu terjadinya saat hamil
7.      His biasanya tidak ada
8.      Rasa tidak tegang (biasa) saat palpasi
9.      Denyut jantung janin ada
10.  Teraba jaringan plasenta pada periksa dalam vagina
11.  Penurunan kepala tidak masuk pintu atas panggul
12.  Presentasi mungkin abnormal.

4.1.3.      Etiologi
Penyebab plasenta previa secara pasti sulit ditentukan, tetapi ada beberapafaktor yang meningkatkan risiko terjadinya plasenta previa, misalnya bekasoperasi rahim (bekas sesar atau operasi mioma), sering mengalami infeksirahim (radang panggul), kehamilan ganda, usia ibu di atas 35 tahun, paritas, pernah plasenta previa, atau kelainan bawaan rahim.

4.1.4.      Diagnosis Plasenta Previa
a.       Anamnesis : adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih 20 minggu dan berlangsung tanpa sebab.
b.      Pemeriksaan luar : sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka kepala belum masuk pintu atas panggul.
c.       Inspekulo : adanya darah dari ostium uteri eksternum.
d.      USG untuk menentukan letak plasenta.
e.       Penentuan letak plasenta secara langsung dengan perabaan langsung melalui kanalis servikalis tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu cara ini hanya dilakukan diatas meja operasi.
4.1.5.      Penatalaksanaan Plasenta Previa
persiapan operasi sesar ( picture source : Rescue 911 - Episode 303 - -911 Placenta Previa- (Part 2) - YouTube
Ibu yang menderita anemia sebelumnya akan sangat rentan terhadap perdarahan, walaupun perdarahan tidak terlalu banyak. Darah sebagai obat utama untuk menagatasi perdarahan belum selalu ada atau tersedia di rumah sakit.
Prinsip dasar penanganan. Setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim ke rumah sakit yang memiliki fasilitas perdarahan yang pertama kali jarang sekali. Apabila dalam penilaian yang tenang dan jujur ternyata perdarahan telah berlangsung tidak membahayakan ibu,janin dan kehamilannya belum cukup 36 minggu atau taksiran berat janin kurang dari 2500 gram dan persalinan belum mulai dapat dibenarkan menunda persalinan sampai janin dapat hidup diluar kandungan.Tetapi bila terjadi perdarahan yang membahayakan ibu dan janin atau kehamilannya telah mencapai 36 minggu dan taksiran berat janin mencapai 2500 gram atau persalinan telah mulai, maka penanganan pasif harus di tinggalkan dan di tempuh penanganan aktif.
Memilih cara persalinanan yang terbaik adalah tergantung dari derajat plasenta previa, paritas dan banyaknya perdarahan. Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesaria tanpa menghiraukan faktor – faktor lannya. Perdarahan banyak dan ber ulang – ulang biasnya disebabkan oleh plasenta yang letaknya lebih tinggi daerjatnya daripada yangditemukan pada pemeriksaan dalam atau vaskularisasi yang hebat pada serviks dan segmen bawah uterus.
Pada kasus yang terbengkalai, dengan anemia berat karena perdarahan atau infeksi intra uterin, baik seksio sesaria maupun persalinan pervaginam sama – sama tidak mengamankan ibu dan janinnya. Akan tetapi dengan bantuan transfusi darah dan antibiotika secukupnya, seksio cesaria masih lebih aman daripada persalinan pervaginam untuk semua kasus plasenta previa totalis dari kebanyakan plasenta previa parsialis (Hanifa Winkjosastro, 2005).
Factor-faktor yang menentukan sikap/tindakan persalinan mana yang akan dipilih.
a.        Jenis plasenta previa
b.      Banyaknya perdarahan
c.        keadaan umum ibu
d.      Keadaan janin
e.       Pembukaan jalan lahir
f.       Paritas
g.      Fasilitas rumah sakit
Dilakukan perawatan konservatif bila
a.       Kehamilan kurang 37 minggu.
b.      Perdarahan tidak ada atau tidak banyak (Hb masih dalam batas normal).
c.       Tempat tinggal pasien dekat dengan rumah sakit (dapat menempuh
perjalanan selama 15 menit).
Penanganan aktif bila :
a.       Perdarahan banyak tanpa memandang usia kehamilan.
b.      Umur kehamilan 37 minggu atau lebih.
c.       Anak mati
Perawatan konservatif berupa :
1)      Istirahat
2)      Memberikan hematinik dan spasmolitik unntuk mengatasi anemia
3)      Memberikan antibiotik bila ada indikasi.
4)      Pemeriksaan USG, Hb, dan hematokrit.
Bila selama 3 hari tidak terjadi perdarahan setelah melakukan perawatan konservatif maka lakukan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan bila tetap tidak ada perdarahan. Bila timbul perdarahan segera bawa ke rumah sakit dan tidak boleh melakukan senggama.
Penanganan aktif berupa :
a.       Persalinan per vaginam.
b.      Persalinan per abdominal.
Penderita disiapkan untuk pemeriksaan dalam di atas meja operasi (double set up) yakni dalam keadaan siap operasi. Bila pada pemeriksaan dalam didapatkan :
a)      Plasenta previa marginalis
b)      Plasenta previa letak rendah
c)      Plasenta lateralis atau marginalis dimana janin mati dan serviks sudah matang, kepala sudah masuk pintu atas panggul dan tidak ada perdarahan atau hanya sedikit perdarahan maka lakukan amniotomi yang diikuti dengan drips oksitosin pada partus per vaginam bila gagal drips (sesuai dengan protap terminasi kehamilan). Bila terjadi perdarahan banyak, lakukan seksio sesarea.
indikasi melakukan seksio sesarea yaitu :
a.       Plasenta previa totalis
b.      Perdarahan banyak tanpa henti.
c.       Presentase abnormal.
d.      Panggul sempit.
e.       Keadaan serviks tidak menguntungkan (belum matang).
f.       Gawat janin

4.2.      Asfiksia Neonatorum
4.2.1. Pengertian Asfiksia Neonatorum
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo Sarwono, 1997).
Asfiksia Neonatotum adalah keadaan dimana bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini biasanya disertai dengan keadaan dimana hipoksia dan hiperapneu serta sering berakhir dengan asidosis (Santoso NI, 1992)

4.2.2.      Patofisiologi
Asfiksia dalah keadaan bayi baru lahir tidak bernapas secara spontan dan teratur, sering kali seorang bayi yang mengalami gawat janin sebelum persalinan akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan kondisi ibu, masalah pada tali pusat dan plasenta atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan.

4.2.3.      Perubahan Yang Terjadi Pada Asfiksia
Pernapasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika BBL kekurangan oksigen. Pada periode awal bayi akan mengalami napas cepat yang disebut dengan gasping primer. Setelah periode awal ini akan diikuti dengan keadaan bayi tidak bernapas yang diseebut apneu primer. Pada saat ini frekuensi jantug mulai menurun, namun tekanan darah masih tetap bertahan.
Bila keadaan ini berlangsung lama dan tidak dilakukan pertolongan pada BBL, maka bayi akan melakukan usaha napas megap-megap yang disebut gasping sekunder dan kemudian masuk dalam periode apneu sekunder. Pada saat ini frekuensi jantung semakin menurun dan tekanan darah semakin menurun dan bisa menyebabkan kematian bila bayi tidak segera ditolong. Oleh karena itu, setiap menjumpai kasus dengan apneu, harus dianggap sebagai apneu sekunder dan segera dilakukan resusitasi.

4.2.4.      Penyebab Asfiksia
Asfiksia pada bayi baru lahir disebabkan oleh faktor ibu, faktor bayi, dan faktor tali pusat atau plasenta.
a)      Faktor ibu
a.       Preeklampsia dan eklampsia
b.      Perdarahan antepartum abnormal ( plasenta previa dan solusio plasenta)
c.       Partus lama atau partus macet
d.      Demam sebelum dan selama persalinan
e.       Infeksi berat ( malaria, sifilis, TBC, dan HIV)
f.       Kehamilan lebih bulan
b)      Faktor bayi
a.       Bayi kurang bulan
b.      Air ketuban bercampur  mekonium
c.       Kelainan kongenital yang memberi dampak pada pernapasan bayi.
c)      Faktor plasenta dan tali pusat
a.       Infark plasenta
b.      Hematoma plasenta
c.       Lilitan tali pusat
d.      Tali pusat pendek
e.       Simpul tali pusat
f.       Prolaps tali pusat

4.2.5.      Diagnostik
a)      Anamnesa
a.       Ganggaun atau kesulitan waktu lahir
b.      Lahir tidak menangsi atau tidak bernapas
c.       Air ketuban bercampur mekonium
b)      Pemeriksaan fisik
a.       Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap
b.      Denyut jantung kurang dari 100 kali permenit
c.       Kulit sianosis, pucat
d.      Tonus otot menurun
Untuk diagnosis asfiksia tidak perlu menilai skor Apgar

4.2.6.      Langkah Promotif/ Preventif
Sebetulnya asfiksia pada bayi baru lahir dapat dicegah, maka sebaiknya dilakukan tindakan pencegahan sebagai berikut.
a.       Pemeriksaan selama kehamilan secara teratur yang berkualitas,
b.      Meningkatkan status nutrisi ibu,
c.       Manajemen persalinan yang baik dan benar ( persalinan yang bersih dan aman), dan
d.      Melaksanakan pelayanan neonatal esensial terutama dengan melakukan resusitasi yang baik dan benar sesuai dengan standar.

4.2.7.      Penanganan Awal dan Lanjutan
4.2.7.1.Resusitasi
resusitasi ( picture source : Baby Not Breathing_ youtube)
a)      Begitu bayi lahir tidak mengangis,maka dilakukan langkah awal yang terdiri dari
1)      Hangatkan bayi di bawah pemancar panas atau lampu
2)      Posisikan kepala bayi sedikit ekstensi
3)      Isap lendir dari mulut bayi kemudian hidung
4)      Keringkan bayi sambil merangsang taktil dengan menggosok punggung atau menyentil ujung jari kaki bayi dan mengganti kain yang basah dengan yang kering.
5)      Reposisi kepala janin
6)      Nilai bayi : usaha napas, warna kulit, dan denyut jantung
b)      Bila bayi tidak bernapas lakukan ventilasi tekanan positif (VTP) dengan memakai balon dan sungkup selama 30 detik dengan kecepatan 40-60 kali permenit.
c)      Nilai bayi : usaha napas, warna kulit, dan denyut jantung
d)     Bila bayi belum bernapas dan denyut jantung 60 x/menit lanjutnkan VTP dengan kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik
e)      Nilai bayi : usaha napas, warna kulit, dan denyut jantung.
1.      Bila denyut jantung < 60 kali /menit, beri epinefrin dan lanjutkan VTP dan kompresi dada
2.      Bila denyut jantung > 60 kali/menit, kompresi dada dihentikan dan VTP dilanjutkan
f)       Pemasangan pipa ET bisa dilakukan pada setiap tahapan resusitasi.



4.2.7.2.Terapi Medikamentosa
1)      Epinefrin
Indikasi :
a.       Denyut jantung bayi < 60 kali/menit  setelah paling tidak 30 detikd ilakukan ventilasi yang adekuat dan kompresi dada belum ada respon
b.      Asistolik
1.      Dosis   : 0.1 – 0.3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000 ( 0.01 mg – 0.03 mg/kg BB)
2.      Cara     : intra vema tau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu

2)      Cairan pengganti volume darah
Indikasi :
a.       Bayi baru lahir yang dlakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi
b.      Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya pucat,perfusi yang buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.
Jenis cairan :
a.       Larutan kristaloid yang isotonis ( NaCl 0.9 %, Ringer Laktat)
b.      Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak dan bila fasilitas tersedia dengan dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.


3)      Bikarbonat
Indikasi:
a.       Asidosis metabolik secara klinis ( napas ceat dan dalam, sianosis)
a)      Prasyarat : bayi telah dilakukan ventilasi dengan efektif
b)      Dosis   : 1-2 mEq/ kg BB atau 2 ml/kg BB (4,2 %) atau 1 ml/kg BB
(7.4 %)
c)      Cara     : diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5 % sa,a banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit
d)     Efek samping  : pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.

4.2.7.3.Penanganan Lanjutan
a.       Pemantauan pasca resusitasi
Sering kali terdapat kejadian bahwa setelah dilakukan resusitasi dan berhasi, bayi dianggap sudah baik dantidak perlu dipantau padahal bayi masih mempunyai potensi atau resiko terjadinya hal yang fatal yaitu misalnua kedinginan, hipoglikemia, dan kejang. Untuk itu, pasca resusitasi harus tetap dilakukan pengawasan sebagai berikut.
a)      Bayi harus dipantau secara khusus.
1)      Bukan dirawat secara rawat gabung
2)      Pantau tanda-tanda vital
3)      Jaga bayi agar senantiasa hangat
4)      Bila tersedia fasililitas,periksa kadar gula darah
5)      Perhatian khusus diberikan pada waktu malam hari.
b)      Berikan imunisasi Hepatitis B pada saat bayi masih dirawat dan imunisasi Polio pada saat pulang.

b.      Kapan menghentikan resusitasi
Resusitasi dinilai tidak berhasil jika bayi tidak bernapas spontan dan tidak terdengar denyut jantung setelah dilakukan resusitasi secara efektif selama 15 menit.

c.       Kapan harus merujuk
1.      Rujukan yang paling tepat adalah rujukan antepartum untuk ibu resiko tinggi/komplikasi
2.      Bila puskesmas tidak mempunyai fasilitas lengkap maka lakukan rujukan bila bayi tidak merespon terhadap tindakan resusitasi
3.      Bila fasilitas mempunyai fasilitas lengkap dan kemampuan melakukan pemasangan ET dan pemberian obata serta bayi tidak memberikan respon terhadap tindakan resusitasi, maka segera lakukan rujukan
4.      Bila sampai dengan 10 menit bayi tidak dapat dirujuk, jelaskankepada orang tua tentang prognosis bayi yang kurang baik dan pertimbangkan manfaat rujukan untuk bayi ini kurang baik jika tidak segera dirujuk.



BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat tim medis yang menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas kesehatan yang terlatih untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan
Prinsip umum penanganan kasus kegawatdaruratan
a.       Pastikan jalan napas bebas
b.      Pemberian oksigen
c.       Pemberian cairan intravena
d.      Pemberian tranfusi darah
e.       Pasang kateter kandung kemih
f.       Pemberian antibiotika
g.      Obat pengurang rasa nyeri
h.      Penanganan masalah utama
i.        Rujukan    
Plasenta previa adalah keadaaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (Ostium Uteri Internal) (Rustam mochtar, 1998).
Manajemen pada plasenta previa yaitu.
a.       Seksio sesarea segera
b.      Perawatan konservatif di rumah sakit
c.       Persalinan pervaginam
d.      Seksio sesarea terjadwal
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo Sarwono, 1997).
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu.
1.      Memastikan saluran terbuka
1)      Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
2)      Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
3)      Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran pernafasan terbuka.
2.      Memulai pernafasan
1)      Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
2)      Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).

3.      Mempertahankan sirkulasi
1)      Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
2)      Kompresi dada.
3)      Pengobatan

B.     Saran
Kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal bukanlah merupakan tanggung jawab petugas kesehatan untuk mengananinya. Namun, dibutuhkan peran serta berbagai pihak dalam mewujudkan kondisi yang mendukung demi tercapainya keselamatan ibu dan bayi yang mengalami kegawatan melalui sistem pertolongan yang sinergi, bekerja efektif, efisien, dan kontinu.
Kasus kegawatdaruratan merupakan hal yang saat ini mendapat perhatian yang begitu besar. Oleh karena itu, diharapkan seluruh pihak memberikan kontribusinya dalam merespon kasus kegawatdaruratan ini. Bagi mahasiswa, sudah seyogyanya memberikan peran dengan mempelajari dengan sungguh-sunggu kasus-kasus kegawatadaruratan dan memaksimalkan keterampilan dalam melakukan penanganan kegawatdaruratan yang berada dalam koridor wewenang bidan.

 
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, William. 2002. William Obstetri vol 2. EGC : Jakarta.
Campbell S, Lee C. Obstetric emergencies. In: Campbell S, Lee C, editors.
     Obstetrics by Ten Teachers. 17th edition. Arnold Publishers; 2000. pp. 303
     317.
Nwobodo EL. Obstetric emergencies as seen in a tertiary health institution in
     North-Western Nigeria: maternal and fetal outcome. Nigerian Medical
     Practitioner. 2006;49(3):54–55.
Waspodo, dkk.. 2005. Pelatihan Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri neonatal Esensial Dasar. Jakarta : Depkes RI.
Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I . EGC : Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Buku Panduan Praktis Maternal dan     Neonatal.
     2002. YBSP : Jakarta.
Aliyah Anna, dkk. 1997, Resusitasi Neonatal, Perkumpulan perinatologi
     Indonesia (Perinasia): Jakarta.
Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. YBPSP: Jakarta.
Allen Carol Vestal, 1998, Memahami Proses Keperawatan,  EGC : Jakarta.
Aminullah Asril,1994, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina pustaka Sarwono
     Prawirohardjo: Jakarta.








No comments:

Post a Comment