BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara
tiba-tiba, seringkali merupakan kejadian yang berrbahaya (Dorlan, 2011).
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang
kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan
tindakan segera guna menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa
yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran.
Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang mengancam
keselamatan ibu dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer, 1999).
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab
utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002)
Kegawatdaruratan neonatal adalah situasi yang membutuhkan evaluasi dan
manajemen yang tepat pada bayi baru lahir yang sakit kritis ( ≤ usia 28
hari) membutuhkan pengetahuan yang dalam mengenali perubahan psikologis dan
kondisi patologis yang mengancam jiwa yang bisa saja timbul sewaktu-waktu (Sharieff, Brousseau, 2006).
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat
tim medis yang menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas
kesehatan yang terlatih untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan.
2. Prinsip
Dasar Penanganan Kegawatdaruratan
2.1.Prinsip
Dasar
Dalam menangani kasus kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama
(diagnosa) dan tindakan pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan
tenang tidak panik, walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin
dalam kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat, dan terarah. Walaupun
prosedur pemeriksaan dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip komunikasi
dan hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan menangani pasien harus
tetap diperhatikan.
2.1.1.
Menghormati hak pasien
Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa memandang status
sosial dan ekonominya. Dalam hal ini petugas harus memahami dan peka bahwa
dalam situasi dan kondisi gawatdarurat perasaan cemas, ketakutan, dan keprihatinan
adalah wajar bagi setiap manusia dan kelurga yang mengalaminya.
2.1.2.
Gentleness
Dalam melakukan pemeriksaan ataupun memberikan pengobatan setiap langkah
harus dilakukan dengan penuh kelembutan, termasuk menjelaskan kepada pasien
bahwa rasa sakit atau kurang enak tidak dapat dihindari sewaktu melakukan
pemeriksaan atau memerikan pengobatan, tetapo prosedur akan dilakukan selembut
mungkin sehingga perasaan kurang enak itu diupayakan sesedikit mungkin.
2.1.3.
Komunikatif
Petugas kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa dan
kalimat yang tepat, mudah dipahami, dan memperhatikan nilai norma kultur
setempat. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus menjelaskan
kepada pasien apa yang akan diperikssssa dan apa yang diharapkan. Apabila hasil
pemeriksaan normal atau kondisi pasien sudah stabil,upaya untuk memastikan hal
itu harus dilakukan. Menjelaskan kondisi yang sebenarnya kepada pasien
sangatlah penting.
2.1.4.
Hak Pasien
Hak-hak pasien harus dihormati seperti penjelasan informed consent, hak pasien untuk menolak pengobatan yang akan
diberikan dan kerahasiaan status medik pasien.
2.1.5.
Dukungan Keluarga (Family Support)
Dukungan keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, petugas
kesehatan harus mengupayakan hal itu antara lain dengan senantiasa memberikan
penjelasan kepada keluarga pasien tentang kondisi pasien, peka akan masalah
kelurga yang berkaitan dengan keterbatasan keuangan, keterbatasan transportasi,
dan sebagainya.
Dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut dapat dinomorduakan,
misalnya apa bila pasien dalam keadaan syok, dan petugas kesehatan kebetulan
hanya sendirian, maka tidak mungkin untuk meminta informed consent kepada
keluarga pasien. Prosedur untuk menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan
walaupun keluarga pasien belum diberi informasi.
2.2.Penilaian Awal
Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam keadaa
gawatdarurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan secara
sistematis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan
obstetrik. Dalam praktik, oleh karena pemeriksaan sistematis membutuhkan waktu
yang agak lama, padahal penilaian harus dilakukan secara cepat, maka dilakukan
penilaian awal.
Penilaian awal adalah langkah untuk menentukan dengan cepat kasus obstetri
yang dicurigai dalam keadaan kegawatdarurat dan membutuhkan pertolongan segera
dengan mengidentifikasi penyulit yang dihadapi. Dalam penilaian awal ini,
anamnesis lengkap belum dilakukan. Anamnesa awal dilakukan bersama-sama periksa
pandang, periksa raba, dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan
informasi yang sangat penting berkaitan dengan kasus. Misalnya apakah kasus
mengalami perdarahan, demam, tidak sadar, kejang, sudah mengedan, atau bersalin
berapa lama, dan sebagainya. Fokus utama penilaian adalah apakah pasieng
mengalami syok hipofolemik, syok septik, syok jenis lain (syok kardiogenik,
syok neurologik, dan sebagainya), koma, kejang-kejang, atau koma disertai
kejang-kejang, dan hal itu terjadi dalam kehamilan, persalinan, atau pasca persalinan.
2.3.Prinsip Umum Penanganan Kasus
Kegawatdaruratan
2.3..1 Pastikan Jalan Napas Bebas
Harus diyakini bahwa jalan napas tidak tersumbat. Jangan memberikan cairan
atau makanan ke dalam mulut karena pasien sewaktu-waktu dapat muntah dan cairan
muntahan dapat terisap masuk ke dalam paru-paru. Putarlah kepala pasien dan
kalau perlu putar juga badannya ke samping dengan demikian bila ia muntah,
tidak sampai terjadi aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya tetap hangat
karena kondisi hipotermia berbahaya dan dapat memperberat syok. Naikkanlah kaki
pasien untuk membantu aliran darah balik ke jantung. Jika posisi berbaring
menyebabkan pasien merasa sesak napas, kemungkinan hla ini dikarenakan gagal
jantung dan edema paru-paru. Pada kasus demikian, tungkai diturunkan dan
naikkanlah posisi kepala untuk mengurangi cairan dalam paru-paru.
2.3.2.
Pemberian Oksigen
Oksigen diberikan dengan kecepatan 6-8 liter / menit. Intubasi maupun
ventilasi tekanan positif hanya dilakukan kalau ada indikasi yang jelas.
2.3.3.
Pemberian Cairan Intravena
Cairan intra vena diberikan pada tahap awal untuk persiapan mengantisipasi
kalau kemudian penambahan cairan dibutuhkan. Pemberian cairan infus intravena
selanjutnya baik jenis cairan, banyaknya
cairan yang diberikan, dan kecepatan pemberian cairan harus sesuai dengan
diagnosis kasus. Misalnya pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang pada syok hipovolemik seperti
pada perdarahan berbeda dengan pemberian cairan pada syok septik. Pada umumnya
dipilih cairan isotonik, misalnya NaCl 0.9 % atau Ringer Laktat. Jarum infus
yang digunakan sebaiknya nomor 16-18 agar cairan dapat dimasukkan secara cepat.
Pengukuran banyaknya cairan infus yang diberikan sangatlah penting.
Berhati-hatilah agar tidak berlebihan memberikan cairan intravena terlebih lagi
pada syok septik. Setiap tanda pembengkakan, napas pendek, dan pipi bengkak,
kemungkinan adalah tanda kelebihan pemberian cairan. Apabila hal ini terjadi,
pemberian cairan dihentikan. Diuretika mungkin harus diberikan bila terjadi
edema paru-paru.
2.3.4.
Pemberian Tranfusi Darah
Pada kasus perdarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai syok,
transfusi darah sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa penderita. Walaupun
demikian, transfusi darah bukan tanpa risiko dan bahkan dapat berakibat
kompliksai yang berbahaya dan fatal. Oleh karena itu, keputusan untuk
memberikan transfusi darah harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Risiko yang
serius berkaitan dengan transfusi darah mencakup penyebaran mikroorganisme
infeksius ( misalnya human immunodeficiency virus atau HIV dan virus
hepatitis), masalah yang berkaitan dengan imunologik ( misalnya hemolisis
intravaskular), dan kelebihan cairan dalam transfusi darah.
2.3.5.
Pasang Kateter Kandung Kemih
Kateter kandung kemih dipasang untuk mengukur banyaknya urin yang keluar
guna menulai fungsi ginjal dan keseimbangan pemasukan danpengeluaran cairan
tubuh. Lebih baik dipakai kateter foley. Jika kateterisasi tidak mungkin
dilakukan, urin ditampung dan dicatat kemungkinan terdapat peningkatan
konsesntrasi urin ( urin berwarna gelap) atau produksi urin berkurang sampai
tidak ada urin sama sekali. Jika produksi urin mula-mula rendah kemudian
semakin bertambah, hal ini menunjukan bahwa kondisi pasien membaik. Diharapkan
produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 mL/ jam.
2.3.6.
Pemberian Antibiotika
Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada kasus
sepsi, syok septik, cidera intraabdominal, dan perforasi uterus.
Pada kasus syok, pemberian antibiotika intravena lebih diutamakan sebab lebih
cepat menyebarkan obat ke jaringan yang terkena infeksi. Apabila pemberian
intravena tidak memungkinkan, obat dapat diberikan intramuskular. Pemberian
antibiotika per oral diberikan jika pemberian intra vena dan intramuskular
tidak memungkinkan, yaitu jika pasien dalam keadaan syok, pada infeksi ringan,
atau untuk mencegah infeksi yang belum timbul, tetapi diantisipasi dapat
terjadi sebagai komplikasi.
Profilaksis antibiotika adalah pemberian antibiotika untuk pencegahan
infeksi pada kasus tanpa tanda-tanda dan gejala infeksi. Antibiotika diberikan
dalam dosis tugngal, paling banyak ialah 3 kali dosis. Sebaiknya profilaksis
antibiotika diberikan setelah tali pusat diklem untuk menghindari efeknya pada
bayi. Profilaksis antibiotika yang diberikan dalam dosis terapeutik selain
menyalahi prinsip juga tidak perlu dan
suatu pemborosan bagi si penderita. Risiko penggunaan antibiotika
berlebihan ialah retensi kuma, efek samping, toksisitas, reaksi alergi, dan biaya yang tidak perlu dikeluarkan.
2.3.7.
Obat Pengurang Rasa Nyeri
Pada beberapa kasus kegawatdaruratan obstetri, penderita dapat mengalami
rasa nyeri yang membutuhkan pengobatan segera. Pemberian obat pengurang rasa
nyeri jangan sampai menyembunyikan gejala yang sangat penting untuk menentukan
diagnosis. Hindarilah pemberian antibiotika pada kasus yang dirujuk tanpa
didampingi petugas kesehatan, terlebih lagi petugas tanpa kemampuan untuk
mengatasi depresi pernapasan.
2.3.8.
Penanganan Masalah Utama
Penyebab utama kasus kegawatdaruratan kasus harus ditentukan diagnosisnya
dan ditangani sampai tuntas secepatnya setelah kondisi pasien memungkinkan
untuk segera ditindak. Kalau tidak, kondisi kegawatdaruratan dapat timbul lagi
dan bahkan mungkin dalam kondisi yang lebih buruk.
2.3.9.
Rujukan
Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai untuk
menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus harus
dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap. Sebaiknya sebelum
pasien dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima rujukan dihubungi dan
diberitahu terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan ataupun perawatan inap
telah dilakukan dan diyakini rujukan kasusa tidak akan ditolak.
3.
Kunci Keberhasilan Penanganan Kegawatdaruratan
Maternal dan Neonatal
Penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal meliputi intervensi yang
spesifik untuk menangani kasus “kegawatan” atau komplikasi selama kehamilan,
persalinan, dan nifas, serta kegawatan pada bayi baru lahir di bawah 30 hari.
Intervensi yang dilakukan antara lain pmeberian antibiotik intravena,
penanganan komplikasi aborsi, penanganan perdarahan postpartum, pengananan
asfiksia neonatorum, penanganan ikterus neonatorum, dan lain sebagainya.
Kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal bukanlah merupakan tanggung
jawab petugas kesehatan untuk mengananinya. Namun, dibutuhkan peran serta
berbagai pihak dalam mewujudkan kondisi yang mendukung demi tercapainya
keselamatan ibu dan bayi yang mengalami kegawatan melalui sistem pertolongan yang
sinergi, bekerja efektif, efisien, dan kontinu.
Pemberi bantuan dana, pembuat kebijakan, dan petugas kesehatan harus
menyadari bahwa tujuan utama pengananan kegawatdaruratan maternal dan neonatal
adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya, juga untuk menyelamatkan jiwa
bayi yang baru lahir atau dengan kata lain untuk mengurangi angka kematian ibu
dan angka kematian neonatal.
Penyediaan pelanyanan penanganan kegawatdaruratan yang berkualitas bukanlah
penyelesaian masalah. Bukan pula dengan tersedianya rumah sakit yang
menyediakan layanan pembedahan di kamar operasi, tetapi ada beberapa poin yang
menentukan berhasilnya pertolongan kasus kegawatdaruratan di antaranya yaitu.
a.
Pendidikan
dan mobilisasi komunitas
Tujuannya agar masyarakat mengetahui
kapan harus mencari pertolongan dan kapan menghubungi petugas kesehatan jika
tampak tanda bahaya atau kegawatan
b.
Pinjaman dana
komunitas
Kurangnya biaya merupakan masalah atau hambatan daam
mendapatkan pertolongan ataupun penanganan di fasilitas kesehatan. Mendirikan
sebuah pinjaman dana komunitas memberikan dampak yang baik di mana masyarakat
termotivasi dalam mendonorkan dana demi tercapainya penggunaan fasilitas yang
dibutukan oleh ibu ataupun bayi yang mengalami kegawatan.
c.
Trained and
skilled staff ( petugas kesehatan yang terlatih dan terampil)
d.
Alat transportasi
Ketersediaan alat transportasi
merupakan elemen yang krusial dari kuatnya sistem rujukan. Alat transportasi
tidak mesti harus ambulans. Sarana transportasiumum seperti taxi ataupun mobil
pribadi dapat digunakan dalam situasi gawatdarurat.
e.
Maternity
Waiting Homes ( Rumah Singgah Ibu)
Maternity waiting homes dirancang
umumnya untuk mengurangi komplikasi intra partum dan postpartum. Penggunaan MWH
ini telah lama direkomendasikan oleh WHO sebagai strategi untuk mengurangi
angka kesakitan dan kematian ibu.
f.
Ketersediaan
obat, bahan, alat, dan perlengkapan, kamar operasi, dan lain sebagainya di
fasilitas kesehatan.
g.
Lingkungan
kerja yang kondusif serta kerjasama antara petugas yang baik
h.
Meningakatkan
kualitas sistem penanganan kegawatdaruratan maternal dan neonatal pada setiap
fasilitas kesehatan/ pusat pelayanan kesehatan
i.
Komunikasi
dan hubungan antara penolong kasus kegawatan pada level komunitas dengan
petugas di fasilitas yang lebih baik (tempat rujukan)
4.
Penanganan Awal dan Penanganan Lanjutan Kegawatdaruratan
Maternal dan Neonatal ( Penanganan Plasenta Previa dan Penanganan Asfiksia
Neonatorum)
Terdapat banyak kasus kegawatdaruratan atau komplikasi yang dapat dialami
oleh ibu selama masa kehamilan, persalinan, maupun postpartum dan juga pada 0 –
30 hari pada bayi baru lahir di antaranya (a) perdarahan obstetri, (b) eklampsia, (c) emboli paru, (d) emboli air
ketuban, (e) prolapsus talipusat,(f) retensio plasenta, (g) distosia bahu, (h)
inversio uteri, (i) ruptura uteri, (j) asfiksia neonatorum,(k) ikterus
neonatorum, (l) hipotermi dan hipertermi pada bayi baru lahir, (m) kejang pada
bayi baru lahir, dan lain sebagainya. Berikut akan dijelaskan menganai satu
dari sekian kasus kegawatan maternal dan satu kasus kegawatan neonatal.
4.1. Plasenta Previa
Plasenta
previa adalah keadaaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal,
yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan
jalan lahir (Ostium Uteri Internal) (Rustam mochtar, 1998).
Plasenta
previa ialah plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada segmen bawah rahim
sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada
keadaan normal plasenta terletak di bagian atas uterus (Hanifa Winkjosastro, 2005)
Klasifikasi plasenta previa berdasarkan terabanya jaringan
plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu :
1. Plasenta
previa totalis : bila seluruh pembukaan jalan lahir tertutup oleh plasenta.
2. Plasenta
previa lateralis : bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir tertutup oleh
plasenta.
3. Plasenta
previa marginalis : bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir pembukaan
jalan lahir.
4. Plasenta
letak rendah
Tepi plasenta berada
3-4 cm diatas pinggir pembukaan pada pemeriksaan dalam tidak teraba (Hanifa
Winkjosastro, 2005).
4.1.2.
Ciri – Ciri
Plasenta Previa
Ciri- ciri plasenta
previa yaitu :
1. Perdarahan
tanpa nyeri
2. Perdarahan
berulang
3. Warna
perdarahan merah segar
4. Adanya
anemia dan renjatan yang sesuai dengan keluarnya darah
5. Timbulnya
perlahan-lahan
6. Waktu
terjadinya saat hamil
7. His
biasanya tidak ada
8. Rasa
tidak tegang (biasa) saat palpasi
9. Denyut
jantung janin ada
10. Teraba
jaringan plasenta pada periksa dalam vagina
11. Penurunan
kepala tidak masuk pintu atas panggul
12. Presentasi
mungkin abnormal.
4.1.3.
Etiologi
Penyebab plasenta previa secara pasti sulit ditentukan,
tetapi ada beberapafaktor yang meningkatkan risiko terjadinya plasenta previa,
misalnya bekasoperasi rahim (bekas sesar atau operasi mioma), sering mengalami
infeksirahim (radang panggul), kehamilan ganda, usia ibu di atas 35 tahun,
paritas, pernah plasenta previa, atau kelainan bawaan rahim.
4.1.4.
Diagnosis
Plasenta Previa
a. Anamnesis
: adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih 20 minggu dan berlangsung
tanpa sebab.
b. Pemeriksaan
luar : sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala maka kepala belum
masuk pintu atas panggul.
c. Inspekulo
: adanya darah dari ostium uteri eksternum.
d. USG
untuk menentukan letak plasenta.
e. Penentuan
letak plasenta secara langsung dengan perabaan langsung melalui kanalis
servikalis tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak. Oleh karena itu cara ini hanya dilakukan diatas meja
operasi.
4.1.5.
Penatalaksanaan
Plasenta Previa
persiapan operasi sesar ( picture source : Rescue 911 - Episode 303 - -911 Placenta Previa- (Part 2) - YouTube |
Ibu yang
menderita anemia sebelumnya akan sangat rentan terhadap perdarahan, walaupun
perdarahan tidak terlalu banyak. Darah sebagai obat utama untuk menagatasi
perdarahan belum selalu ada atau tersedia di rumah sakit.
Prinsip
dasar penanganan. Setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim
ke rumah sakit yang memiliki fasilitas perdarahan yang pertama kali jarang
sekali. Apabila dalam penilaian yang tenang dan jujur ternyata perdarahan telah
berlangsung tidak membahayakan ibu,janin dan kehamilannya belum cukup 36 minggu
atau taksiran berat janin kurang dari 2500 gram dan persalinan belum mulai
dapat dibenarkan menunda persalinan sampai janin dapat hidup diluar
kandungan.Tetapi bila terjadi perdarahan yang membahayakan ibu dan janin atau
kehamilannya telah mencapai 36 minggu dan taksiran berat janin mencapai 2500
gram atau persalinan telah mulai, maka penanganan pasif harus di tinggalkan dan
di tempuh penanganan aktif.
Memilih cara persalinanan yang terbaik adalah tergantung dari derajat
plasenta previa, paritas dan banyaknya perdarahan. Plasenta previa totalis
merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesaria tanpa menghiraukan faktor –
faktor lannya. Perdarahan banyak dan ber ulang – ulang biasnya disebabkan oleh
plasenta yang letaknya lebih tinggi daerjatnya daripada yangditemukan pada
pemeriksaan dalam atau vaskularisasi yang hebat pada serviks dan segmen bawah
uterus.
Pada kasus
yang terbengkalai, dengan anemia berat karena perdarahan atau infeksi intra
uterin, baik seksio sesaria maupun persalinan pervaginam sama – sama tidak
mengamankan ibu dan janinnya. Akan tetapi dengan bantuan transfusi darah dan
antibiotika secukupnya, seksio cesaria masih lebih aman daripada persalinan
pervaginam untuk semua kasus plasenta previa totalis dari kebanyakan plasenta
previa parsialis (Hanifa Winkjosastro, 2005).
Factor-faktor yang menentukan sikap/tindakan persalinan mana yang akan
dipilih.
a. Jenis plasenta previa
b. Banyaknya perdarahan
c. keadaan umum ibu
d. Keadaan janin
e. Pembukaan jalan lahir
f. Paritas
g. Fasilitas rumah sakit
Dilakukan perawatan konservatif bila
a.
Kehamilan kurang 37 minggu.
b.
Perdarahan tidak ada atau tidak
banyak (Hb masih dalam batas normal).
c.
Tempat tinggal pasien dekat
dengan rumah sakit (dapat menempuh
perjalanan selama 15 menit).
perjalanan selama 15 menit).
Penanganan aktif bila :
a.
Perdarahan banyak tanpa
memandang usia kehamilan.
b.
Umur kehamilan 37 minggu atau
lebih.
c.
Anak mati
Perawatan konservatif berupa :
1)
Istirahat
2)
Memberikan hematinik dan
spasmolitik unntuk mengatasi anemia
3)
Memberikan antibiotik bila ada
indikasi.
4)
Pemeriksaan USG, Hb, dan
hematokrit.
Bila selama 3
hari tidak terjadi perdarahan setelah melakukan perawatan konservatif maka
lakukan mobilisasi bertahap. Pasien dipulangkan bila tetap tidak ada
perdarahan. Bila timbul perdarahan segera bawa ke rumah sakit dan tidak boleh
melakukan senggama.
Penanganan aktif
berupa :
a.
Persalinan per vaginam.
b.
Persalinan per abdominal.
Penderita disiapkan untuk pemeriksaan dalam di atas meja
operasi (double set up) yakni dalam keadaan siap operasi. Bila pada pemeriksaan
dalam didapatkan :
a) Plasenta
previa marginalis
b) Plasenta
previa letak rendah
c) Plasenta
lateralis atau marginalis dimana janin mati dan serviks sudah matang, kepala
sudah masuk pintu atas panggul dan tidak ada perdarahan atau hanya sedikit
perdarahan maka lakukan amniotomi yang diikuti dengan drips oksitosin pada
partus per vaginam bila gagal drips (sesuai dengan protap terminasi kehamilan).
Bila terjadi perdarahan banyak, lakukan seksio sesarea.
indikasi melakukan seksio sesarea yaitu :
a. Plasenta
previa totalis
b. Perdarahan
banyak tanpa henti.
c. Presentase
abnormal.
d. Panggul
sempit.
e. Keadaan
serviks tidak menguntungkan (belum matang).
f. Gawat
janin
4.2.
Asfiksia
Neonatorum
4.2.1. Pengertian Asfiksia Neonatorum
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat
segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia
janin dalam uterus
dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan,
persalinan atau segera lahir (Prawiro
Hardjo Sarwono, 1997).
Asfiksia Neonatotum adalah keadaan dimana bayi baru lahir
yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
Keadaan ini biasanya disertai dengan keadaan dimana hipoksia dan hiperapneu
serta sering berakhir dengan asidosis (Santoso
NI, 1992)
4.2.2. Patofisiologi
Asfiksia dalah keadaan bayi baru lahir tidak bernapas secara spontan dan
teratur, sering kali seorang bayi yang mengalami gawat janin sebelum persalinan
akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan
kondisi ibu, masalah pada tali pusat dan plasenta atau masalah pada bayi selama
atau sesudah persalinan.
4.2.3. Perubahan
Yang Terjadi Pada Asfiksia
Pernapasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika BBL kekurangan
oksigen. Pada periode awal bayi akan mengalami napas cepat yang disebut dengan gasping primer. Setelah periode awal ini
akan diikuti dengan keadaan bayi tidak bernapas yang diseebut apneu primer. Pada saat ini frekuensi
jantug mulai menurun, namun tekanan darah masih tetap bertahan.
Bila keadaan ini berlangsung lama dan tidak dilakukan pertolongan pada BBL,
maka bayi akan melakukan usaha napas megap-megap yang disebut gasping sekunder dan kemudian masuk
dalam periode apneu sekunder. Pada saat ini frekuensi jantung semakin menurun
dan tekanan darah semakin menurun dan bisa menyebabkan kematian bila bayi tidak
segera ditolong. Oleh karena itu, setiap menjumpai kasus dengan apneu, harus
dianggap sebagai apneu sekunder dan segera dilakukan resusitasi.
4.2.4. Penyebab
Asfiksia
Asfiksia pada bayi baru lahir disebabkan oleh faktor ibu, faktor bayi, dan
faktor tali pusat atau plasenta.
a)
Faktor
ibu
a.
Preeklampsia
dan eklampsia
b.
Perdarahan
antepartum abnormal ( plasenta previa dan solusio plasenta)
c.
Partus
lama atau partus macet
d.
Demam
sebelum dan selama persalinan
e.
Infeksi
berat ( malaria, sifilis, TBC, dan HIV)
f.
Kehamilan
lebih bulan
b)
Faktor
bayi
a.
Bayi
kurang bulan
b.
Air
ketuban bercampur mekonium
c.
Kelainan
kongenital yang memberi dampak pada pernapasan bayi.
c)
Faktor
plasenta dan tali pusat
a.
Infark
plasenta
b.
Hematoma
plasenta
c.
Lilitan
tali pusat
d.
Tali
pusat pendek
e.
Simpul
tali pusat
f.
Prolaps
tali pusat
4.2.5. Diagnostik
a)
Anamnesa
a.
Ganggaun
atau kesulitan waktu lahir
b.
Lahir
tidak menangsi atau tidak bernapas
c.
Air
ketuban bercampur mekonium
b)
Pemeriksaan
fisik
a.
Bayi
tidak bernapas atau napas megap-megap
b.
Denyut
jantung kurang dari 100 kali permenit
c.
Kulit
sianosis, pucat
d.
Tonus
otot menurun
Untuk diagnosis asfiksia tidak perlu menilai skor Apgar
4.2.6. Langkah
Promotif/ Preventif
Sebetulnya asfiksia pada bayi baru lahir dapat dicegah, maka sebaiknya
dilakukan tindakan pencegahan sebagai berikut.
a.
Pemeriksaan
selama kehamilan secara teratur yang berkualitas,
b.
Meningkatkan
status nutrisi ibu,
c.
Manajemen
persalinan yang baik dan benar ( persalinan yang bersih dan aman), dan
d.
Melaksanakan
pelayanan neonatal esensial terutama dengan melakukan resusitasi yang baik dan
benar sesuai dengan standar.
4.2.7. Penanganan
Awal dan Lanjutan
a)
Begitu
bayi lahir tidak mengangis,maka dilakukan langkah
awal yang terdiri dari
1)
Hangatkan
bayi di bawah pemancar panas atau lampu
2)
Posisikan
kepala bayi sedikit ekstensi
3)
Isap
lendir dari mulut bayi kemudian hidung
4)
Keringkan
bayi sambil merangsang taktil dengan menggosok punggung atau menyentil ujung
jari kaki bayi dan mengganti kain yang basah dengan yang kering.
5)
Reposisi
kepala janin
6)
Nilai
bayi : usaha napas, warna kulit, dan denyut jantung
b)
Bila
bayi tidak bernapas lakukan ventilasi tekanan positif (VTP) dengan memakai
balon dan sungkup selama 30 detik dengan kecepatan 40-60 kali permenit.
c)
Nilai
bayi : usaha napas, warna kulit, dan denyut jantung
d)
Bila
bayi belum bernapas dan denyut jantung 60 x/menit lanjutnkan VTP dengan
kompresi dada secara terkoordinasi selama 30 detik
e)
Nilai
bayi : usaha napas, warna kulit, dan denyut jantung.
1.
Bila
denyut jantung < 60 kali /menit, beri epinefrin dan lanjutkan VTP dan
kompresi dada
2.
Bila
denyut jantung > 60 kali/menit, kompresi dada dihentikan dan VTP dilanjutkan
f)
Pemasangan
pipa ET bisa dilakukan pada setiap tahapan resusitasi.
4.2.7.2.Terapi
Medikamentosa
1)
Epinefrin
Indikasi :
a.
Denyut
jantung bayi < 60 kali/menit setelah
paling tidak 30 detikd ilakukan ventilasi yang adekuat dan kompresi dada belum
ada respon
b.
Asistolik
1.
Dosis : 0.1 – 0.3 ml/kg BB dalam larutan 1 : 10.000
( 0.01 mg – 0.03 mg/kg BB)
2.
Cara : intra vema tau endotrakeal. Dapat diulang
setiap 3-5 menit bila perlu
2)
Cairan
pengganti volume darah
Indikasi :
a.
Bayi
baru lahir yang dlakukan resusitasi mengalami hipovolemia dan tidak ada respon
dengan resusitasi
b.
Hipovolemia
kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok. Klinis ditandai adanya
pucat,perfusi yang buruk, nadi kecil/lemah, dan pada resusitasi tidak
memberikan respon yang adekuat.
Jenis cairan
:
a.
Larutan
kristaloid yang isotonis ( NaCl 0.9 %, Ringer Laktat)
b.
Transfusi
darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak dan bila fasilitas
tersedia dengan dosis awal 10 ml/kg BB IV pelan selama 5-10 menit. Dapat
diulang sampai menunjukkan respon klinis.
3)
Bikarbonat
Indikasi:
a.
Asidosis
metabolik secara klinis ( napas ceat dan dalam, sianosis)
a)
Prasyarat
: bayi telah dilakukan ventilasi dengan efektif
b)
Dosis : 1-2 mEq/ kg BB atau 2 ml/kg BB (4,2 %) atau
1 ml/kg BB
(7.4
%)
c)
Cara : diencerkan dengan aquabides atau
dekstrose 5 % sa,a banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2
menit
d)
Efek
samping : pada keadaan hiperosmolaritas
dan kandungan CO2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.
4.2.7.3.Penanganan
Lanjutan
a.
Pemantauan
pasca resusitasi
Sering kali terdapat kejadian bahwa setelah dilakukan resusitasi dan
berhasi, bayi dianggap sudah baik dantidak perlu dipantau padahal bayi masih
mempunyai potensi atau resiko terjadinya hal yang fatal yaitu misalnua
kedinginan, hipoglikemia, dan kejang. Untuk itu, pasca resusitasi harus tetap
dilakukan pengawasan sebagai berikut.
a)
Bayi
harus dipantau secara khusus.
1)
Bukan
dirawat secara rawat gabung
2)
Pantau
tanda-tanda vital
3)
Jaga
bayi agar senantiasa hangat
4)
Bila
tersedia fasililitas,periksa kadar gula darah
5)
Perhatian
khusus diberikan pada waktu malam hari.
b)
Berikan
imunisasi Hepatitis B pada saat bayi masih dirawat dan imunisasi Polio pada
saat pulang.
b.
Kapan
menghentikan resusitasi
Resusitasi dinilai tidak berhasil jika bayi tidak bernapas spontan dan
tidak terdengar denyut jantung setelah dilakukan resusitasi secara efektif
selama 15 menit.
c.
Kapan
harus merujuk
1.
Rujukan
yang paling tepat adalah rujukan antepartum untuk ibu resiko tinggi/komplikasi
2.
Bila
puskesmas tidak mempunyai fasilitas lengkap maka lakukan rujukan bila bayi
tidak merespon terhadap tindakan resusitasi
3.
Bila
fasilitas mempunyai fasilitas lengkap dan kemampuan melakukan pemasangan ET dan
pemberian obata serta bayi tidak memberikan respon terhadap tindakan
resusitasi, maka segera lakukan rujukan
4.
Bila
sampai dengan 10 menit bayi tidak dapat dirujuk, jelaskankepada orang tua
tentang prognosis bayi yang kurang baik dan pertimbangkan manfaat rujukan untuk
bayi ini kurang baik jika tidak segera dirujuk.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Kegawatdaruratan dapat didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang
kala berbahaya yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan
tindakan segera guna menyelamtkan jiwa/ nyawa (Campbell S, Lee C, 2000).
Penanganan kegawatdaruratan obstetrik ada tidak hanya membutuhkan sebuat
tim medis yang menangani kegawatdaruratan tetapi lebih pada membutuhkan petugas
kesehatan yang terlatih untuk setiap kasus-kasus kegawatdaruratan
Prinsip umum penanganan kasus kegawatdaruratan
a.
Pastikan
jalan napas bebas
b.
Pemberian
oksigen
c.
Pemberian
cairan intravena
d.
Pemberian
tranfusi darah
e.
Pasang
kateter kandung kemih
f.
Pemberian
antibiotika
g.
Obat
pengurang rasa nyeri
h.
Penanganan
masalah utama
i.
Rujukan
Plasenta
previa adalah keadaaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal,
yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan
jalan lahir (Ostium Uteri Internal) (Rustam mochtar, 1998).
Manajemen pada plasenta previa yaitu.
a. Seksio sesarea segera
b. Perawatan konservatif di rumah sakit
c. Persalinan pervaginam
d. Seksio sesarea terjadwal
Asfiksia
Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini
disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan
hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan,
persalinan atau segera lahir (Prawiro
Hardjo Sarwono, 1997).
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang
dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu.
1. Memastikan saluran
terbuka
1)
Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
2)
Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
3)
Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran
pernafasan terbuka.
2. Memulai pernafasan
1)
Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
2)
Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau
mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
3. Mempertahankan sirkulasi
1)
Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
2)
Kompresi dada.
3)
Pengobatan
B.
Saran
Kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal bukanlah merupakan tanggung
jawab petugas kesehatan untuk mengananinya. Namun, dibutuhkan peran serta
berbagai pihak dalam mewujudkan kondisi yang mendukung demi tercapainya
keselamatan ibu dan bayi yang mengalami kegawatan melalui sistem pertolongan
yang sinergi, bekerja efektif, efisien, dan kontinu.
Kasus kegawatdaruratan merupakan hal yang saat ini mendapat perhatian yang
begitu besar. Oleh karena itu, diharapkan seluruh pihak memberikan
kontribusinya dalam merespon kasus kegawatdaruratan ini. Bagi mahasiswa, sudah
seyogyanya memberikan peran dengan mempelajari dengan sungguh-sunggu
kasus-kasus kegawatadaruratan dan memaksimalkan keterampilan dalam melakukan
penanganan kegawatdaruratan yang berada dalam koridor wewenang bidan.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham,
William. 2002. William Obstetri vol
2. EGC : Jakarta.
Campbell S, Lee C. Obstetric emergencies. In: Campbell S, Lee C,
editors.
Obstetrics by Ten Teachers.
17th edition. Arnold Publishers; 2000. pp. 303
317.
Nwobodo EL. Obstetric emergencies as seen in a tertiary health
institution in
North-Western Nigeria:
maternal and fetal outcome. Nigerian Medical
Practitioner. 2006;49(3):54–55.
Waspodo, dkk.. 2005. Pelatihan
Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri neonatal Esensial Dasar. Jakarta :
Depkes RI.
Mochtar,
Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I . EGC : Jakarta.
Prawirohardjo,
Sarwono. 2002. Buku Panduan Praktis Maternal dan
Neonatal.
2002. YBSP : Jakarta.
Aliyah Anna, dkk. 1997, Resusitasi Neonatal, Perkumpulan perinatologi
Indonesia (Perinasia): Jakarta.
Prawirohardjo,
Sarwono. 2002. Ilmu
Kebidanan. YBPSP: Jakarta.
Allen Carol Vestal, 1998, Memahami
Proses Keperawatan, EGC : Jakarta.
Aminullah Asril,1994, Ilmu
Kebidanan, Yayasan Bina pustaka Sarwono
Prawirohardjo: Jakarta.
No comments:
Post a Comment