Apa benar di zaman sekarang ini , semakin dewasa seseorang tapi
kedewasaannya makin ciuutttt...aliasss makinn memudar.?????
Yaah,, menurut saya itu memang
benar. Meskipun hal ini akan mendapatkan pertentangan oleh siapapun yang
mendengarnya. Namun, hal ini tertanam di benak saya. Saya sengaja menangkat
judul ini sebagai hal yang harus kita renungkan. Memang benar semakin dewasa
seseorang, kedewasaannya malah memudar atau tidak nampak. Tentu ini tidak
terjadi pada semua orang. Pengamatan saya hanya terpaku pada segelintir orang
saja yang menampakkan perbuatan yang menurut saya jadi pencitraan kepribadian
dan itu bisa jadi tolak ukur kedewasaan mereka. Entahlah.. sadar atau tidak,
hal itu tetap dilakukan oleh meraka. Menurut saya orang yang telah dewasa tidak
sepatutnya ,mempertontonkan hal-hal yang kekanak-kanakan atau mengucapkan
hal-hal yang tidak penting apalagi menyakitkan untuk didengar oleh orang lain.
Suatu hari , ketika saya dan sahabat saya duduk di beranda kelas. Terlihat beberapa
orang mahasiswi lainnya sedang asik bermain. Layaknya anak kecil. Padahal boleh
dikatakan usia mereka rata-rata 20 tahun bahkan lebih. Berlari-larian,,
kejar-kejaran,, tarik-tarikan baju, dan mengucapkan candaan bernada sindiran.
Anehnya,,, masing-masing mereka enjoy-enjoy aja dengan semua itu. Bahkan
semakin girang aja dilihat. Oh ,, NO..... yang paling parahnya ni..... mereka
bisa aja kan dilihat oleh pangeran-pangeran negeri sebelah yang berhiaskan
pakaian putih alias mahasiswa yang
kelasnya berhadapan dengan kelas kami. WANITA ITU ADALAH AURAT !!!!! iya
kan ??????? suara mereka jelas-jelas bisa aja terdengar oleh kaum adam di
negeri seberang tuh. Gerak tubuh saat berlarian, tarik-tarikan baju sudah pasti
terlihat juga. Nah,, di mana sih citra seorang wanita yang telah dewasa itu ?
saya sama sekali tidak bisa meihatnya.
Satu lagi nih.
Suatu hari, ketika saya tengah berada di ruang dewan guru salah satu TK di
daerah saya. Saya kebetulan punya urusan dengan salah seorang guru. Saya duduk
di kursi kayu yang langsung berhadapan dengan meja ibu. D ( inisial). Ibu D
terlihat sibuk memeriksa pekerjaan rumah murid-muridnya. Saya pun tak
disapanya. Seolah tidak ada siapa-siapa di dalam ruangan. Padahal beberapa
menit yang lalu beliau melihat saya duduk di kursi kayu biru itu sesaat sebelum
guru lain yang menyambut saya masuk keluar meninggalkan ruangan. Terlihat pula
ibu itu menampakkan garis-garis tak beraturan di keningnya. Meskipun tipis dan
samar, garis itu dapat saya lihat. Anggapan saya saat itu adalah, ibu D agak kecewa dengan apa yang baru saja
diperiksanya.( saya bisa saja suuzan saat itu, alhamdulilah di dalam hati saya
segera beristighfar). Tidak lama berselang, datanglah dua orang anak kecil
berseragam. Lucu dan lugu mereka. Memang menggemaskan melihat anak seusia
mereka, kira-kira 5 atau 6 tahunan.
“ ibu guru,,,,,
maaf tadi sepertinya saya salah memberikan ibu guru buku untuk dikumpulkan.
Buku tadi tuh bukan buku PR saya Bu. Tapi buku catatan Matematika. Ini buku PR
saya Bu ( )bermaksud memberikan ibu D buku PR nya yang belum terkumpul.” Anak
kecil itu menjelaskan dengan polosnya.
“ aduuuh,,
pantas... kenapa bisa salah kasih sih ???? nggak dengar ya tadi ibu bilang
kumpulkan buku PR kalian” ibu D menjawab.
Anak kecil yang kedua kemudian membela teman sebayanya itu. “ ibu guru.. saya
yang salah. Tadi memang FD ( inisial anak yang pertama) lagi main di luar kelas
saat ibu masuk mengumpulkan buku PR. Jadi saya ambil aja buku di mejanya. Saya
pikir itu buku PR-nya karena saat saya buka sekilas. Isinya angka semua Bu.
Jadi saya pikir itu PR matematikanya yang sudah dia kerjakan”
“ anak ini.....
saya sudah punya banyak urusan di rumah. Kamu tambahin saya lagi urusan yang
buat otak saya berputar. Dari tadi saya bolak balik buku kamu untuk dapatkan di
mana jawaban PR kamu tulis. Ternyata itu bukan buku PR tapi buku catatan. Kamu
juga ( melihat ke arah anak kedua) pakek kasih ibu buku yang salah” Ibu D
berkata dengan nada yang agak keras.
Astaghfirullah... terucap dalam hati saya. Masalah sepele seperti itu,
dibuat jadi besar oleh seorang guru TK. Jelas- jelas anak itu sudah jujur
menjelaskan apa yang terjadi. Kenapa ibu D memberi respon negatif. Apalagi
kepada anak kecil yang sangat perlu untuk ditanamkan dan diperkenalkan hal- hal
positif di pandangannya. Hati orang yang telah dewasa pun pasti akan teriris
mendengar perkataan ibu D. Apalagi anak kecil.... coba bayangkan.....
Saya tidak ingin berpanjang lebar mengenai kasus Ibu D dan kedua muridnya. Masih
banyak pengalaman pribadi saya lainnya yang memberatkan prinsip saya bahwa
semakin bertambah usia, kedewasaan seseorang bisa saja memudar. Ingat ,, TIDAK
SEMUA. Namun dengan adanya kasus – kasus seperti yang saya lihat, tentu dengan
presentase yang sedikit namun itu bisa membangun prinsip saya. Dan itu tidak
bisa dielakkan karena memang benar- benar ada dan memang benar- benar terjadi.
Menurut saya, kedewasaan adalah tingkat kematangan seseorang dalam
mengekspresikan ide, gagasan, dan isi hati melalui lisan dan perbuatan, serta
bagaimana merespon masukan, memberi masukan, dan menganggapi perbedaan dengan
jujur, halus, dan bijak sesuai dengan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya,
Dari kasus satu, tampak bahwa mahasiswa yang demikian bisa saja tau adab
dalam berinteraksi dengan teman. Tak perlu teriak- teriak, tak perlu
lari-larian, tak perlu membuat gaduh suasana. Namun, karena terlena oleh
suasana mereka lebih memilih untuk tidak mengerkpresikan suasana hati dengan
semestinya. Bahkan yang paling disayangkan adalah mereka bisa dengan PD—nya
memamerkan hal itu di hadapan kaum adam. Akhirnya yang terlihat dan terdengar
hanyalah potret-potret tingkah laku dan
nyanyian anak kecil yang terulang di masa tua. Apa nggak lucu hal seperti
itu ????? MAHASISWA loch !!!,,, siswa yang telah menggandeng gelar MAHA di
antara SEJUTA SISWA dengan kata lain tingkat penuntun ilmu yang tertinggi telah
disandang. Tak hanya Islam KTP aja yang ada zaman sekarang ini. MAHASISWA KTP
pun marak sekarang ini.
Nah,, di kasus kedua keadaan justru terbalik. Anak kecil bisa mengutarakan
alasan dengan jujurnya dan dengan adab berinteraksi dengan orang yang lebih tua
yang luar biasa menagumkan di mata saya. Tak hanya itu, ketika salah seorang
teman ditegur dengan nada yang tinggi oleh gurunya. Dia kemudian membela
temannya yang tidak bersalah dan mengakui kesalahan yang dilakukannya. Saat
berada di ruangan itu saya sangat bersemagat ingin mendengar respon Ibu D.
Dalam hayalan saya saya ingin mendengar” Iya,,
nggak apa-apa nak. Ibu malah senang dan bersyukur punya murid-murid seperti
kalian. Kalian berani mengutarakan alasan dengan begitu gagah dan jujurnya.
Anak murid saya seharusnya semua seperti itu. Berani mengakui kesalahan dan
membela hak teman yang tidak bersalah” tapi apa ???? bukan itu jawaban yang
keluar dari mulut ibu D. Saat itu saya bagaikan sedang nonton piala dunia
antara keseblasan Spanyol vs. Belanda di mana tim jagoan saya, Spanyol tidak
bisa menyarangkan bola di gawang Belanda saat tidak ada seorang pun yang menghalangi,,
tinggal semeter doang jarak antara bola dan gawang. Namun, tembakannya meleset.
Kecewwaaaaaaa.. saya benar- benar kecewa dengan jawaban ibu D.
Kedewasaan itu pilihan. Jadi sebelum
terlambat sudah saatnya kita memilih... berusaha menjadi seseorang yang dewasa
? atau tetap menjadi anak-anak dengan wajah kita yang semakin menua ?
Hummmmm.. ya udah dulu ya... saya yakin teman- teman udah bisa membandingkan
dan menimbang – nimbang apa yang saya maksud dalam tulisan ini.
Ohhhh ya.. tulisan ini hanyalah bentuk luapan pemikiran saya terhadap
sejumlah orang yang saya amati. Tidak ada maksud untuk menghardik,,, melecehkan
atau membanding- bandingkan diri dengan orang lain atau menanggap diri saya
yang paling baik. Saya pun tentu saja , baik disadari atau tidak,,,,,,,
disengaja atau tidak , pernah melakukan atau mengucapkan sesuatu yang bukan
merupakan ciri seorang yang dewasa.
Mohon maaf atas
segala kecacatan dan kekurangan dalam tulisan ini. Namun saya tetap
mengharapkan ada manfaat yang bisa teman- teman ambil meskipun hanya setitik.
Sampai ketemu lagi
,,,,,
Assalamualaikum,,,,,,,,,